“Hes, ga akan ikut nih? Beneran?”
Mahesa menggelengkan kepalanya tanpa sekalipun menengadah untuk melihat lawan bicaranya. Matanya terpaku pada secarik kertas yang ada di tangannya.
“Yaudah kalau gitu, gue duluan ya.”
Sepetak ruangan yang diberikan BEM untuk panitia persiapan acara orientasi fakultas sekarang sudah mulai kosong. Rangkaian orientasi sudah selesai kemarin dan kebanyakan divisi sudah membubarkan diri mereka selepas evaluasi yang dilakukan sampai larut malam. Hanya meja Mahesa yang masih penuh dengan kertas yang menumpuk. Sebagai ketua divisi acara, Mahesa memegang kendali penuh akan berjalannya orientasi dan menurut semua orang dia berhasil untuk membuat sebuah bentuk orientasi yang baru dan tidak membosankan. Namun bukan Mahesa namanya jika dia cepat puas dengan hasil pekerjaannya. Dia masih bersikeras untuk melakukan evaluasi tambahan bersama anggota divisinya.
Mahesa mengerutkan keningnya, membaca dalam diam. Semakin dia membaca isi kertas tersebut, kerutan di dahinya semakin dalam.
“Kak Hesa, masih disini?”
Sebuah suara bertanya dengan hati-hati. Kala menjulurkan kepalanya di pintu.
“Lho, belum pulang juga?”
Kala hanya mengangguk singkat dan berjalan masuk. Dia sudah mengganti pakaiannya, namun kantung matanya tidak bisa menyembunyikan kelelahannya.
“Aku mau ambil notesku yang kemarin kakak pinjem buat eval,” jawab Kala sembari tertawa canggung. Walaupun dia menghabiskan masa liburannya merencanakan orientasi dengan Mahesa, dia masih merasa canggung jika harus berhadapan langsung.
“Oh iya, sebentar kayaknya kemarin ada di atas meja.”
Mahesa mencari notes milik Kala di tengah tumpukan barang yang ada berserakan di mejanya. Kertas yang sedari tadi dipegang oleh Mahesa terjatuh ke lantai. Kala berlutut mengambil kertas tersebut dan tidak bisa menahan senyumannya.
“Kakak dapet surat cinta lagi ya?”
Mahesa dengan cepat mengambil surat dari tangan Kala. Pipinya yang putih tampak merona merah. Wajahnya tampak sangat serius, membuat Kala sedikit takut. Namun Kala tahu bahwa Hesa sama sekali tidak marah padanya.
“Kak Hesa tuh kalau misalnya mukanya galak begini orang tuh malah pada suka tau kak,” ucap Kala tanpa sadar.
Hesa mengerling ke arah Kala yang sudah panik karena menyadari ucapannya. Kala tersenyum dengan canggung dan berjalan cepat menuju pintu.
“Hehehe nanti aja deh kak notesku, aku duluan ya kak. Selamat istirahat!”
Sebelum Mahesa bisa mengatakan apapun, Kala sudah menghilang dengan wajah yang memerah.
“Kal, lo mau daftar kepanitian orientasi fakultas ga?”
Hari itu adalah hari terakhir di semester genap. Sebelum libur tahun ajaran baru, BEM menginformasikan tentang rekrutmen kepanitian orientasi yang akan dilakukan ketika mahasiswa baru sudah masuk.
“Ah jangan ditanya kali, si Kala kan malesan orangnya. Mana mau dia ikut kepanitian yang harus rapat pas liburan.”
“Iya ah gue males, mending tidur aja di rumah. Lagian lo semua juga ga akan ikut kan? Entar gue sama siapa, ga ada temen.” jawab Kala.
“Kata siapa ga ada temen, ini gue ikut kok. Ikut aja yok biar gue juga ada temen.”
Kala menolak dengan tegas. Walaupun dia senang dengan kegiatan di kampus bersama teman-temannya, namun dia tidak mau mengorbankan liburannya yang berharga untuk rapat yang terus menerus. Dia sangat berpegang teguh pada keputusannya ini sampai suatu hari di akhir bulan Juni, beberapa hari sebelum rapat besar pertama kepanitian orientasi dilaksanakan.
“Kala, lo ga ada acara kan liburan ini? Lo mau ga berbaik hati gantiin gue di kepanitian orientasi? Gue tiba-tiba harus balik ke kampung halaman bokap nih soalnya nenek gue sakit. Kadiv gue minta gue buat nyari yang mau gantiin gitu baru boleh izin.”
“Ah males gue beneran. Lo coba tanya yang lain gih di kelas, siapa tau ada yang mau.”
“Gue belum selesai ngomong Kala. Lo pasti mau deh kalau gue bilang siapa kadiv gue,”
“Ga ah gue —”
“Kadiv gue kak Hesa.”
Kala duduk di depan Mahesa yang membaca laporan dengan serius. Sudah seminggu sejak kepanitian dibubarkan namun Mahesa masih bersikukuh untuk melakuakn revisi laporan dari divisi acara. Laporan yang dipegang Mahesa sekarang adalah laporan terakhir yang ditulis Kala tanpa tertidur selama dua hari. Sebenarnya Kala sudah ingin terlepas dari kewajibannya tersebut namun di sisi lain dia enggan untuk menyelesaikannya karena dia senang bekerja dengan Mahesa.
Mahesa menutup laporan dan tersenyum pada Kala. Senyuman paling lebar yang pernah diterima oleh Kala selama satu bulan terakhir.
“Kal, lo ga tidur ya?” pertanyaan Mahesa membuat Kala terkejut.
“Hah? Ngga kok kak. Aku tidur kok hehe”
“Bohong. Itu kantung mata lo item banget kayak panda. Sorry ya gue bikin lo kerja sampe segininya.”
Kala dengan panik mengecek kantung matanya di cermin yang ada di sebelah meja Mahesa. Melihat Kala yang panik, Mahesa tertawa pelan.
“Tetep cantik kok ada kantung matanya juga.”
“Hah?”
Mahesa sekarang yang terlihat panik karena ucapannya sendiri. Dia berusaha untuk menutupinya dengan mengalihkan pembicaraan.
“Eh iya, ini laporannya udah ok. Nanti gue langsung kasih ke pak Winto buat pertanggung jawaban. Makasih banyak ya Kal, sorry jadinya gue ngerjain lo padahal udah pembubaran panitia.”
Kala tersenyum dengan canggung, masih tidak tahu harus memberikan reaksi seperti apa. Kepalanya masih kosong karena pujian yang tiba-tiba dilontarkan oleh Mahesa. Jika yang mengatakan itu teman sekelas Kala, dia pasti tidak akan menganggap itu serius. Namun Mahesa berbeda.
Semua orang tahu bahwa Mahesa merupakan sosok yang tegas dan terkesan galak. Bahkan mahasiswa baru sering menjulukinya sebagai “setan gedung 2” karena konon katanya lebih menyeramkan dibandingkan para anggota divisi tata tertib di orientasi. Namun tidak ada yang bisa membenci Mahesa karena dia sebenarnya baik hati kepada semua orang. Tahun lalu, ketika Kala pertama kali masuk sebagai mahasiswa baru, Mahesa sudah menjabat sebagai kadiv acara. Awalnya Kala sangat takut pada Mahesa, apalagi setelah kating yang membina kelompok orientasinya menceritakan tentang julukan Mahesa. Namun entah mengapa Kala malah tertarik pada Mahesa, terutama sehari setelah hari terakhir orientasi.
Hari pertama setelah orientasi memang seperti surga bagi para mahasiswa baru. Akhirnya mereka bisa merasakan menjadi mahasiswa sepenuhnya dan mulai berkenalan dengan teman sekelasnya. Namun Kala berpikir kebalikannya. Dia merasa bahwa dengan selesainya orientasi, maka dia akan memasuki kehidupan perkuliahan yang membosankan. Datang, duduk di kelas selama berjam-jam, pergi makan siang, lalu duduk di dalam kelas lagi, dan pulang. Sebuah aktivitas yang monoton tentu saja akan membosankan. Namun hari pertama Kala setelah orientasi benar-benar mengubah segalanya.
Mendapatkan permintaan tolong dari dosen mengharuskan Kala untuk pergi ke ruang BEM yang sebenarnya masih dianggap tempat sakral oleh para mahasiswa baru. Kala mengetuk pintu dengan pelan, takut mengganggu seniornya yang sedang asyik mengobrol di dalam ruang BEM. Tidak ada jawaban dari dalam, hanya suara tertawa yang semakin keras terdengar. Kala yang tidak tahu harus bagaimana lagi mengetuk dengan lebih keras. Ruang BEM tiba-tiba sunyi dan pintu terbuka dengan sangat keras. Kala kaget dan terlonjak mundur.
“Lo mau ngapain maba?” tanya seorang senior yang bertubuh besar.
Kala yang gugup tidak bisa menjawab dan hanya bergumam tidak jelas. Seniornya tersebut tidak senang dengan sikap Kala dan sekarang menatapnya dengan tajam.
“Kalau lo ga ada keperluan, gausah ngetuk sekenceng itu apalagi kita lagi rapat. Lo ga —”
“Oh dia dateng buat gue. Udah gausah marah-marah, ga lucu lagian lo semua tadi ga lagi rapat juga.”
Mahesa menyela ucapan senior tersebut dan berjalan keluar menarik Kala yang masih tidak bisa berkata apapun.
“Lo disuruh pak Winto kan? Tadi bapaknya ngechat katanya beliau minta anak kelasnya buat jemput gue. Sorry ya jadi nyusahin lo.”
“Eh erm gapapa kak,”
“Lo balik kelas lagi aja gapapa. Makasih ya,”
Mahesa tersenyum pada Kala. Senyum yang konon katanya sangat sulit muncul kecuali Mahesa sedang dalam suasana hati yang bagus sekali. Kala kembali ke kelasnya, masih sedikit gemetar namun karena alasan yang berbeda.
Teman di sebelahnya berbisik pelan ketika Kala sudah duduk kembali.
“Lo gapapa kan? Lo mukanya pucet banget kayak abis liat setan.”
“Gue abis liat setan tapi setannya baik…gue suka.”